Selasa, 26 Juli 2011

aliansi strategis


Suka Duka Aliansi
Suka Duka Aliansi Stratejik
(Vibiznews – Strategic) - Aliansi stratejik (strategic alliance) merupakan fenomena yang yang begitu menjamur di hampir setiap sektor business. Strategi bersaing dan saling mematikan makin lama makin ditinggalkan. Argumentasi pemain alliansi amat sederhana. Daripada bersaing saling mematikan, mengapa tidak bergandeng tangan dan bekerja sama saling melengkapi dan saling menguntungkan? Logika ini agaknya mudah dipahami karena kata kunci dalam era globalisasi adalah persaingan dan efisiensi.Jelas kerja sama dalam bentuk aliansi akan membawa banyak manfaat bagi perusahaan.
Salah satu kecenderungan yang amat mencolok dalam ekonomi global dewasa ini adalah pertumbuhan dan penyebaran aliansi stratejik, dengan berbagai bentuk kolaborasinya, baik antar perusahaan maupun antar grup dalam skala internasional. Besar kemungkinan ini disebabkan oleh perubahan-perubahan mendasar dalam ekonomi global seperti semakin intensnya persaingan, perkembangan teknologi yang cepat, meningkatnya biaya pembangunan, biaya produksi dan biaya pemasaran produk-produk baru.
Untuk bersaing dalam arena global, siapa pun tidak dapat menanggung biaya tetap yang demikian besar. Biaya dan resiko untuk mendirikan jaringandistribusi, logistik, manufaktur, penjualan, dan litbang di setiap pasar kunci di seluruh dunia akan menjadi sangat besar bila ditanggung sendiri. Selain itu, dibutuhkan waktu untuk membangun keahlian karyawan sendiri dan membina hubungan baik dengan pemasok. Pada gilirannya, diperlukan mitra bisnis (partner). Anda perlu mendefinisikan strategi yang memungkinkan untuk melakukan mekanisme keuntungan.
Oleh karena itu, tepat sekali pendapat Kenichi Ohmae (1989), bahwa syarat yang diperlukan dalam aliansi, bergesernya fokus perhatian dari ROI (Return on Investment) menjadi ROS (Return on Sale). Orientasi terhadap ROS berarti manajer memusatkan perhatian pada berjalannya manfaat bisnis yang ditimbulkan oleh aliansi, dan tidak hanya duduk ongkang-ongkang serta menanti return atas investasi awal mereka.
Kesimpulan Ohmae ini sejalan dengan pengamatan Sasaki (1993) mengenai aktivitas kolaborasi Jepang sejak dasawarsa 1950-an yang berubah dari mula-mula memusatkan diri terutama untuk mendapatkan technological know-how dari luar negeri menjadi memfokuskan pada pertumbuhan penjualan pasar di dunia. Alasannya, tidak ada satu perusahaan, betapa pun besarnya, dapat menanggung investasi begitu besar untuk mendominasi pasar dunia.
Disamping impian untuk meningkatkan sinergi antar partner dan ROS yang tinggi, manajer alliansi harus waspada bahwa mengelola alliansi tidaklah semudah yang diperkirakan banyak orang. Riset yang dilakukan oleh Bleeke and Ernst (1993) menunjukkan bahwa tingkat kesuksessan alliansi stratejik hanya 1 banding 3.Tingginya tingkat kegagalan alliansi stratejik merupakan warning bagi setiap manajer. Tulisan ini akan mengupas alliances, internal dan eksternal factor yang mempengaruhinya, kelebihan dan kelemahan alliansi dan problem yang umumnya muncul dalam pengelolaan alliansi. Berdasarkan kualitatif studi yang dilakukan penulis kedua, kami mengangkat kasus KLM dan Northwest alliansi sebagai contoh kasus alliansi pertama di dunia penerbangan yang telah berhasil melalui pasang surut mahligai perkawinannya.
TUJUAN ALIANSI
Tujuan utama aliansi adalah memungkinkan suatu perusahaan atau grup untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai dengan usaha sendiri (Dicken, 1992:213-15). Dengan kata lain, suatu aliansi selalu membagi resiko sekaligus keuntungan dengan cara menanggung pengambilan keputusan bersama untuk bidang tertentu. Karena itu, aliansi stratejik tidak sama dengan merjer, mengingat yang terakhir ini berarti meleburnya identitas pelaku merjer.
Dalam strategi aliansi, hanya beberapa aktivitas bisnis peserta aliansi yang dilibatkan. Dalam aspek ini, perusahan atau grup tidak hanya tetap terpisah, namun juga sering tetap menjadi pesaing. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa alasan rasional ditempuhnya aliansi stratejik adalah memanfaatkan keunggulan suatu perusahaan dan mengkompensasi kelemahannya dengan keunggulan yang dimiliki sang mitra bisnis. Aliansi stratejik dapat terjadi dalam bidang litbang, hingga pengolahan, distribusi, atau pemasaran.
Begitu banyak manfaat aliansi, sehingga Ohmae (1989) mencatat bahwa 9 dari 10 pelaku aliansi akan tetap dalam aliansi apabila mungkin. Kanter (1994), berdasarkan penelitiannya terhadap 37 perusahaan dan partnernya dari 11 penjuru dunia (USA, Kanada, Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, Turki, China, Hongkong, Indonesia, dan Jepang), menyimpulkan bahwa adanya 3 aspek fundamental dari aliansi bisnis: Pertama, aliansi harus membawa manfaat bagi mitra kerja yang terlibat, namun aliansi tidak hanya sekedar perjanjian.
Pelaku aliansi hidup dalam sistem yang progresif, koneksi menawarkan pilihan akan masa mendatang, membuka pintu baru dan peluang yang tidak terlihat sebelumnya. Kedua, aliansi berarti kolaborasi (menciptakan nilai baru secara bersama-sama) dan tidak hanya sekedar pertukaran (mendapatkan suatu pengembalian atas apa yang anda berikan).
Suatu kolaborasi yang aktif terjadi bila pelaku aliansi mengembangkan mekanisme (struktur, proses, dan skill) yang menjembatani perbedaan organisasi dan interpersonal, serta mendapatkan real value dari aliansi. Ketiga, pelaku aliansi tidak dapat “dikontrol” oleh sistem yang formal namun memerlukan jaringan keterkaitan interpersonal dan infrastruktur internal yang meningkatkan proses belajar.


1. Faktor-Faktor Eksternal
Dunning (1995) mengatakan bahwa perubahan lingkungan eksternal merupakan alasan mendasar yang mempengaruhi aliansi stratejik. Perubahan ini mencerminkan ketidakmampuan sumberdaya internal untuk mencapai keunggulan kompetitif. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai gerakan dan strategi kompetitif suatu perusahaan, kita juga harus memahami tingkatan persaingan pada tingkat nasional, regional dan sektoral. Kita harus mengerti, tidak hanya suatu perusahaan yang dapat secara bebas memilih strategi mereka sendiri, namun kondisi-kondisi perubahan yang ada di tingkat nasional dan sektoral juga mendorong mereka untuk melakukan perubahan dan mengkaji ulang strateginya. Narula & Dunning (1998) menjelaskan dimensi perubahan lingkungan eksternal yang mendorong aliansi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 1):
Pertama, proses globalisasi menjadi kekuatan utama di balik pertumbuhan aktivitas nilai tambah lintas batas negara, yang pada gilirannya meningkatkan saling ketergantungan ekonomi. Perkembangan globalisasi membawa serangkaian reaksi, yang di dalamnya terdapat kecenderungan meningkatnya aktivitas-aktivitas perusahaan –baik domestik maupun internasional- yang harus ditangani tidak hanya melalui internalisasi pasar produk antara dengan hirarki (baca: hirarchical capitalism), tetapi melalui apa yang telah disebut “aliance capitalism” (Gerlach, 1992; Dunning, 1995).
Kedua, meningkatnya internasionalisasi dan persaingan menimbulkan kebutuhan untuk bekerja sama secara regional. Di samping itu, karena “keseluruhan bisnis adalah lokal” maka perusahaan membutuhkan mitra kerja lokal untuk menangani perbedaan lingkungan lokal dan budaya. Ketiga, perkembangan teknologi yang cepat, siklus umur produk yang lebih pendek, dan kenaikan biaya litbang (R&D) telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk mewujudkan riset bersama dan berbagi sumberdaya yang langka.
Keempat, munculnya banyak pesaing baru dalam bisnis tradisional telah memaksa perusahaan yang ada untuk membina hubungan dan memperluas jaringan yang erat. Selain itu, untuk menciptakan penghalang bagi pesaing baru.
Kelima, pergeseran dari produk menuju kompetensi memaksa perusahaan untuk keluar dan mencari pengetahuan yang saling melengkapi dan kompetensi yang baru. Akibatnya, bila pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an aliansi menekankan pada produk dan didorong oleh pasar, pada dasawarsa 1990-an aliansi semakin bersifat kerjasama yang berbasis pengetahuan dan kompetensi.


2. Faktor-Faktor Internal Yang Menjadi Motif Dan Tujuan Aliansi
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan-perusahaan berjuang keras mewujudkan aliansi strategik, yang dapat dijelaskan oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan. Rangsangan utama untuk beraliansi adalah kebutuhan untuk bekerja sama untuk mencapai fleksibilitas, kompetensi inti, dan insentif yang berasal dari otonomi, pada waktu sama memanfaatkan sumberdaya yang saling melengkapi bagi pembelajaran dan efisiensi (Freeman & Perez ,1989; Wahyuni, 2003).
Motif dan tujuan perusahaan merupakan faktor pendorong utama aliansi, selain faktor-faktor lingkungan eksternal perusahaan. Motif dan tujuan dibentuknya aliansi stratejik setidaknya meliputi (lihat Gambar 1): (1) Teknologi (know –how); (2) Aset finansial; (3) Persaingan; (4) Akses pada segmen pasar; (5) Akses terhadap input, output, dan pengalaman manajemen; (6) Sumberdaya dan kapabilitas yang saling melengkapi.
Gambar 1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Aliansi Stratejik

Sumber : Ghauri (1999), Narula & Dunning (1998) dalam Wahyuni (2003: 13)

ALIANSI STRATEJIK ANTARA KLM DAN NORTHWEST
(Vibiznews - Strategic) - Perkembangan alliansi dapat di bagi menjadi tiga fase: formasi, operasional, dan evaluasi. Fase formasi terdiri dari tiga tahapan: courtship, negotiation dan start up (lihat gambar 4). Hubungan KLM dan Northwest pada setiap fase adalah sebagai berikut:
Fase Formasi: Mengapa Aliansi?
Sejarah mencatat, aliansi KLM dan Northwest merupakan aliansi maskapai penerbangan yang pertama di dunia yang amat terintegrasi, saling menguntungkan, namun keduanya tetap beroperasi sebagai perusahaan yang terpisah. Kemitraan antara kedua maskapai penerbangan ini dimulai tahun 1989 ketika KLM mengakuisisi 19,3% saham Northwest. Tabel 3 meringkas berbagai elemen aliansi ini, yang ternyata bertahap dari berbagi joint code hingga pembentukan patungan (joint venture) trans-Atlantik yang mengikat kedua perusahaan dalam segmen bisnis yang saling tergantung. Kemitraan antara KLM dan Northwest dimulai pada tahun 1991. Setidaknya ada dua alasan mengapa KLM dan Northwest memilih patungan tanpa menciptakan perusahaan baru (Wahyuni, 2003: 171-2). Pertama , untuk memaksimalkan jaringan dan memberikan pilihan jalur penerbangan yang paling efisien kepada para pelanggan. Mereka menyebutnya sebagai economic path indifference. Artinya, tidak ada perbedaan bagi aliansi ini apakah penumpang terbang dengan pesawat KLM atau Northwest. Semua pendapatan hasil patungan disatukan dan masing-masing mitra akan memperoleh bagian laba yang sama. Kedua, peraturan industri penerbangan tidak mendorong kedua perusahaan ini untuk membentuk patungan murni dengan badan hukum baru. Isu asal negara memang termasuk hal penting bagi maskapai penerbangan.


Tabel 1. Elemen Aliansi Patungan KLM-Northwest


Dari sisi KLM, alasan aliansi adalah mencari cara untuk memperluas jaringannya dan dapat bertahan dalam persaingan global. KLM (Koninklijke Luchvaart Maatschappij), yang berdiri sejak 1919, memiliki 30.381 karyawan yang sebagian besar berada di Belanda, memiliki 161 tujuan internasional dengan armada 215 pesawat, dan mengangkut 15,9 juta penumpang pada tahun 2001. Pada akhir tahun 80an CEO KLM, didukung konsultan dari McKinsey, berkeyakinan bahwa KLM perlu lebih efesien dan lebih kuat di pasar sebagai konsekuensi deregulasi dan liberalisasi pasar. Singkatnya, diputuskan untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan penerbangan lain untuk membangun posisi kompetitif yang berkesinambungan dengan integrasi jaringan dan koneksitas antara Amerika, Eropa, dan Asia Tenggara.
Northwest adalah perusahaan penerbangan dari Amerika Utara yang memulai operasinya pada tahun 1926. Perusahaan ini memiliki 48.708 karyawan, memiliki 40 tujuan internasional dengan armada 428 pesawat, dan mengangkut 54,7 juta penumpang pada tahun 2001. Northwest merupakan perusahaan penerbangan skala sedang yang beroperasi pada jaringan penerbangan yang luas di jalur AS-Asia, namun hanya memiliki jaringan yang kecil ke Eropa. Perusahaan AS tertua ini merupakan maskapai penerbangan terbesar keempat di dunia, yang memiliki jaringan aliansi dengan 28 mitra bisnis, melayani lebih dari 750 kota di 6 benua yang tersebar dalam 120 negara. Singkatnya, Northwest ingin memperluas operasinya di Eropa.
Manajemen KLM menganalisis seluruh potensi mitra kerja di AS dan memutuskan bahwa Northwest dapat menjadi mitra terbaik buat KLM. Setidaknya ada 3 alasan yang mendasari keputusan ini. Pertama, dilihat dari cakupan bisnis, Northwest memiliki kombinasi yang kuat dalam penumpang dan kargo, yang juga merupakan bisnis inti KLM. Kedua, mengingat potensi pasar Pasifik, sangat penting bagi KLM untuk mengkombinasikan pasar di AS, Eropa dan Pasifik. Ketiga, pada waktu itu Northwest merupakan maskapai internasional Amerika yang memiliki pengalaman yang cukup dibandingkan maskapai Amerika yang lain seperti Delta dan United Airlines.
Sebelum aliansi dimulai, Northwest merupakan maskapai skala menengah Amerika yang mengoperasikan jaringan penerbangan yang besar dari AS ke Asia, tetapi memiliki jaringan penerbangan yang relatif kecil ke Eropa. Agar lebih kompetitif di pasar dunia, Northwest ingin memperluas operasinya ke Eropa, sedangkan KLM yang beroperasi dari negara yang kecil melihat kemungkinan perluasan pasar dan masuk ke AS yang merupakan pasar paling besar bagi Eropa. Dengan menggabungkan kekuatan, Northwest percaya bahwa mereka dapat memperkuat posisi mereka di Amsterdam, Eropa dan penerbangan ke Timur Tengah, bahkan lebih jauh.
KLM dan Northwest melihat bahwa mereka dapat saling merealisasikan impiannya melalui aliansi tersebut. Namun aliansi ini unik karena tidak membuat kontrak perjanjian selama 4 tahun. Pada bulan September 1997, kontrak ditandatangani yang secara rinci mencakup seluruh aspek dalam kerja sama mereka. Isinya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: mengenai kerja sama patungan (joint venture) dan operasi aliansi secara menyeluruh (overall alliance operation) . Pada bagian mengenai aliansi patungan, isinya berhubungan dengan penumpang dan lalu lintas cargo dengan lingkup operasi yang mencakup: (1) Code Sharing; (2) Harga; (3) Manajemen penerimaan; (4) Jadual koordinasi; (5) Program reciprocal frequent flyer; (6) Reciprocal Ground Handling; (7) Organisasi kerjasama penjualan; (8) Pemasaran; (9) Kargo.
Bagian kedua perjanjian berhubungan dengan aktivitas bersama secara keseluruhan yang jauh melebihi cakupan kerjasama patungan. Kedua maskapai bekerja sama di bidang handling cost, makanan (catering) , kerjasama pembelian dan rekayasa di seluruh dunia. Sebagai contoh, bila pesawat KLM mendarat di Tokyo, para insinyur Northwest akan mengurusi ground handling. KLM dan Northwest juga menggunakan jasa katering yang sama untuk penyediaan makanan selama di dalam pesawat. Agar memperoleh potongan harga yang tinggi dari para pemasok, kedua maskapai ini sering membuat order bersama untuk membeli peralatan seperti komputer, suku cadang, bahan bakar, dan sebagainya.
Dalam implementasi aliansi, ada masa pasang dan surut. Gambar 4 menunjukkan adanya periode di mana kepercayaan menjadi topik yang kontroversial. Pada tahun 1997, hubungan aliansi menurun ditunjukkan dengan adanya hubungan yang memburuk karena ada masalah kepemilikan antara KLM dan Northwest. Pada saat itu KLM berkesempatan untuk membeli saham Northwest. Northwest mengangap rencana ini sebagi keinginan KLM untuk mengontrol Northwest. Konflikpun semakin meningkat karena ada ketidaksepahaman tujuan & misi penerbangan mereka (misi Northwest adalah Low Cost sedangkan misi KLM lebih menitik beratkan pada kualitas). Mereka berusaha memperbaiki hubungan kedua perusahaan dengan memperbaharui dan mengganti perjanjian yang ada. Disamping itu KLM juga menjual kemabili seluruh saham Northwest untuk menghapus prasangka bahwa penerbangan Belanda ini ingin menguasai Northwest. Setelah fase evaluasi, kedua
perusahaan memutuskan untuk melanjutkan kerja sama, sehingga aliansi ini kembali masuk dalam proses operasional.


Gambar 2. Proses Perkembangan Aliansi KLM-Northwest

Fase Operasional Dalam Aliansi Stratejik KLM dan Northwest Senin, 05 November 2007 07:50 WIB
(Vibiznews - Strategic) - Untuk mengelola dan mengkoordinasi aktivitas aliansi ini, kedua maskapai penerbangan sepakat untuk mendirikan Alliance Steering Committee dan sejumlah tim kerja, yang terdiri dari subbisnis penumpang, keuangan, operasi dan kargo. Steering committe mengadakan pertemuan secara teratur setiap 3 bulan di Amsterdam atau Minneapolis.
Northwest dan KLM memutuskan untuk mengintegrasikan penjualan mereka dan mengimplementasikan pendekatan pemasaran yang disebut “a color-blind approach” pada tahun 1998. KLM menutup kantor pemasaran mereka di U.S.A. dan menyerahkan seluruh aktivas penjualan di Amerika kepada Northwest. Demikian juga halnya dengan Northwest yang menutup sales office mereka di Eropa.
Ada 3 alasan mengapa mereka melakukan hal ini, yaitu:
(1) Mereka dapat menghemat biaya dengan mengurangi duplikasi karyawan;
(2) Mengurangi masalah persaingan internal antar staf pemasaran;
(3) Merupakan bagian integral untuk mengoptimalkan keuntungan dari usaha Patungan.

A color-blind approach ini merupakan strategi yang pertama kali diterapkan di dunia penerbangan dan terbukti sangat ampuh sekali untuk mengurangi persaingan antar kedua belah maskapai.

Kontribusi Mitra Bisnis
Awalnya operasi aliansi ini sepakat atas bagian 60:40. KLM mengoperasikan 60% dan Northwest 40% dari kapasitas. Namun pada tahun 1997 mereka mengubah komposisi tersebut menjadi 50:50. Komposisi yangbaru ini diharapkan membantu perkembangan aliansi dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
Adanya perbedaan kontribusi kapasitas tidak menyebabkan konflik karena mereka secara bersama memutuskan jadual penerbangan. Hampir semua aktivitas yang diperlihatkan dalam perjanjian diatur secara bersama (joint), kecuali pemasaran (marketing) dan periklanan (advertising).

Pengendalian

Walaupun KLM memiliki 19,3% saham Northwest, situasi ini tidak memberikan dampak pada posisi kontrol KLM. Lagi pula saham KLM di Northwest Airlines relatif kecil persentasenya dari total kepemilikan di Northwest. Settlement control aliansi ini dapat dibagi ke dalam 3 aspek, yaitu:
1.Pada umumnya, Alliance Steering Committee mengatur secara keseluruhan pengawasan aliansi ini.
2.Kontrol sedikit berbeda saat dihubungkan dengan pasar.
3.Kedua mitra (partner) memiliki keahlian yang berbeda yang menghasilkan pengendalian divisi yang berbeda dan menciptakan pertukaran keahlian yang berbeda pula di antara kedua perusahaan.
4.Northwest dan KLM membagi kompetensi inti mereka mengenai IT, teknik penjualan, strategi pemasaran, manajemen hubungan pelanggan, dan manajemen aliansi. Dalam pemeliharaan dan ground handling, kedua perusahaan mengatur prosedurnya.


Spill-over of Control
Spill-over of control adalah kemungkinan core competence perusahaan merembes kepada partner kita. Fenomena ini amat sering terjadi antara partner aliansi. Celakanya, setelah menyerap keahlian partner banyak perusahaan yang kemudian menghentikan kerjasama alliansi mereka. Untuk menghindari keahlian perusahaan terserap seluruhnya oleh partner aliansi yang notabene adalah pesaing perusahaan kita, perusahaan perlu melakukan spill over of control (kesepakatan untuk berbagi keahlian seluruhnya, sebagian atau tidak sama sekali).
Mengenai spill-over of control ini, Northwest tidak memiliki masalah karena keterbukaan di bidang servis seperti penerbangan ini merupakan unsur yang vital sehingga tidak ada rahasia diantara mereka. Sedangkan KLM menggarisbawahi bahwa normalnya bentuk hubungan R&D tidak perlu untuk diterapkan dalam aliansi mereka karena aspek berikut:
1.Kedua maskapai memiliki komitmen jangka panjang
2.Mereka memiliki hubungan dalam lingkup besar dengan banyak bidang yang saling berhubungan.

Maka dapat disimpulkan bahwa komitmen jangka panjang dan rekanan dalam lingkup yang luas menjadi kunci mengapa kedua perusahaan ini tidak perlu khawatir dengan spill-over of control.


Konflik

Banyak orang berpandangan negatif terhadap aliansi yang penuh dengan konflik. Logikanya, apabila aliansi selalu dilanda konflik manajer akan sibuk untuk mengatasi problem mereka yang pada akhirnya akan menurunkan efisiensi kerja mereka. Ternyata anggapan ini tidaklah selalu benar. Tercatat memiliki intensitas konflik yang tinggi, KLM dan Northwest menganggap konflik suatu hal yang biasa dalam setiap kerjasama.

Kedua maskapai penerbangan ini menginteprestasikan ketidakcocokan yang mereka alami sebagai konflik positif karena mereka menganggap konflik tersebut menjadi masukan yang akan dicari solusinya secara terus menerus yang pada akhirnya meningkatkan kapabilitas kedua penerbangan tersebut. Penanganan konflik yang bijaksana sangatlah diperlukan. Informasi yang transparan dan komunikasi yang terbuka antar kedua belah pihak adalah kuncinya.

Selain masalah operasional, pemicu konflik biasanya berasal dari :
Orientasi jangka pendek Northwest dan orientasi jangka panjang KLM
Memposisikan aliansi pada pasar kompetitif.
Strategi bagaimana menghadapi aliansi pesaing seperti Lufthansa/United Airlines, Delta/Air France.
Selain masalah dominan tersebut, kedua perusahaan itu menghadapi beberapa situasi sulit yang berpengaruh substansial terhadap hubungan mereka:
Selama periode 1994-1997, ada masalah kontrol KLM, perbedaan kualitas, perbedaan strategi kargo.
Masalah besar kedua terjadi pada September 1998, ketika Northwest terbentur dengan pemogokan satu bulan oleh crew kokpitnya yang menuntut kenaikan gaji.
Waktu sulit yang ketiga terjadi selama penyerangan teroris di AS pada 11 September 2001, yang nyaris menghentikan industri penerbangan.
Komunikasi
KLM dan Northwest telah banyak mengandalkan komunikasi sebagai bagian dari resolusi konflik dan alat untuk mengembangkan kepercayaan antara mereka. Komunikasi membuat mereka dapat saling berbincang, membangun kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian dalam kemitraannya. Namun, kedua perusahaan itu mengakui bahwa ada perbedaan kultural antara dua perusahaan itu, sehingga adaptasi perlu dilakukan dari waktu ke waktu. Komunikasi informal diakui sebagai salah satu aspek yang perlu diperbaiki untuk lebih meningkatkan efisiensi aliansi.(FAD)
Kelebihan Dan Kelemahan Aliansi Stratejik Kamis, 01 November 2007 15:40 WIB
(Vibiznews - Strategic) - Semua bentuk aliansi, baik patungan, waralaba (franchise), partisipasi modal, atau perjanjian kontrak jangka panjang dirancang untuk meraih keuntungan dari penggunaan metode pengembangan internal dan akuisisi, pada saat yang sama berusaha menghindari kerugian. Dalam beberapa hal, aliansi berhasil melakukannya, namun kebanyakan yang lainnya tidak. Tabel 1 merangkum kelebihan dan kelemahan stratejik aliansi.



Tabel 1. Kelebihan Dan Kelemahan Aliansi

Sumber: Collis & Montgomery (1998:97)

Kelebihan

Kelebihan dari strategi aliansi bermacam-macam. Tulisan ini akan memfokuskan pada penggabungan sumberdaya untuk dapat berkompetisi di bisnis yang baru. Aliansi biasanya muncul ketika perusahaan mempunyai sumberdaya yang mampu memberi nilai agar dapat masuk ke bisnis baru, tetapi perusahaan membutuhkan aset dari perusahaan lain agar perusahaan dapat secara efektif menciptakan sumberdaya tersebut sebagai keunggulan kompetitif. Misalnya saja perusahaan-perusahaan Jepang pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Perusahaan Jepang yang menghasilkan produk dengan kualitas tinggi mempunyai masalah dalam hal distribusi dan jaringan pelayanan untuk dapat memasuki pasar Amerika Serikat. Bukannya membeli perusahaan-perusahaan milik AS atau membangun jaringan antar mereka, perusahaan Jepang menggunakan cara aliansi untuk dapat menyesuaikan produk mereka dengan distribusi dan jaringan pelayanan perusahaan lokal di Amerika.

Kelemahan

Isu yang terkait dalam kelemahan strategi aliansi ini berkaitan dengan masalah kepemimpinan, kontribusi rekan aliansi, pengawasan kontribusi, dan strategi dalam bisnis.


Membuat struktur perusahaan yang jelas dalam strategi aliansi sangat penting. Hal ini dapat memperjelas masalah yang berkaitan dengan kepemimpinan perusahaan selama beraliansi. Dengan cara ini masing-masing pihak dalam aliansi dituntut untuk mengetahui motivasi dan insentif dari masing-masing, baik dalam jangka panjang atau jangka pendek.


Selain itu masing-masing pihak yang beraliansi juga perlu mengetahui kebutuhan dan aspirasi rekan aliansinya. Hal ini disebabkan kebutuhan dan aspirasi akan terus berubah. Dengan mengetahui kebutuhan dan aspirasi masing-masing maka pihak-pihak yang mengadakan aliansi dapat menetapkan tujuan dan insentif yang disetujui bersama.


Persaingan dapat muncul antarmitra kerja aliansi. Tidak jarang sesama mitra aliansi justru berbalik menjadi pesaing. Dalam hal ini masing-masing mitra aliansi ingin menjadi pemenang di pasar dan mengalahkan mitranya. Siapa yang bisa mendapat keuntungan terbanyak dari aliansi itulah yang akan muncul sebagai pemenang. Aliansi dapat berhasil apabila di dalam bekerja sama mempunyai tujuan untuk pemenuhan sumberdaya; memperoleh akses terhadap aset dan kemampuan yang tidak dimiliki perusahaan; atau pembagian biaya dan risiko secara umum.


Biasanya aliansi didesain sebagai hubungan jangka pendek, karena aliansi dianggap sebagai bentuk strategi yang lemah apabila diterapkan untuk jangka panjang. Suatu studi yang cukup mendalam yang dilakukan Business Week (1986) mencatat sejumlah contoh usaha patungan berikut motivasinya. Tabel 3, yang merangkum hasil studi tersebut, menunjukkan beragamnya tujuan strategis pelaku usaha patungan.


Patut dicatat, dalam setiap kontrak patungan beberapa ciri sebagai berikut biasanya dianut, yaitu
kontribusi oleh partner dalam uang, properti, usaha, pengetahuan, skill, atau aset lain adalah bentuk yang umum;
kerja sama dalam properti sering dimasukkan dalam patungan;
hak untuk saling mengontrol manajemen perusahaan;
harapan akan keuntungan (presence of adventure);
hak untuk berbagi keuntungan; (6) tujuan biasanya dibatasi menjadi satu keterlibatan atau ad hoc enterprise (Weston, et.al., 1990, bab 14).

Dengan demikian, ruang lingkup dan lama usaha patungan dibatasi dan umumnya patungan hanya melibatkan sebagian kecil dari total aktivitas peserta patungan. Kendati demikian banyak juga alliansi stratejik yang tujuannya mencakup semua tujuan tertulis pada Tabel 2. Salah satu contoh adalah alliansi stratejik antara KLM dan Northwest. Tulisan dibawah ini adalah hasil wawancara kami terhadap 15 manajer KLM dan Northwest di Amstelveen dan Minneapolis. Wawancara dilakukan sejak tahun 2000 hingga 2002 dengan bentuk semi structure interview. Setiap wawancara berlangsung sekitar 2-3 jam.



Tabel 2. Beberapa Contoh Usaha Patungan dan Tujuannya

Sumber: Business Week, Corporate Odd Couples, 21 Juli (1986:101)

Tahap Evaluasi Dalam Aliansi Stratejik KLM dan Northwest
(Vibiznews – Strategic) - Dari aliansi ini sasaran KLM dan Northwest tercapai yaitu untuk meningkatkan pendapatan yang lebih tinggi pada segmen trans-Atlantik dan meningkatkan penguasaan pasar mereka dengan menawarkan kepada penumpang jadual penerbangan yang lebih bervariasi dari Eropa ke Amerika maupun sebaliknya. Gambar 5 memperlihatkan perkembangan jaringan dan profitabilitas selama masa patungan. Keuntungan dibagi merata, operasi aliansi pun melonjak dua kali lipat sejak 1989, dan menawarkan 32 penerbangan setiap hari yang melayani 32 kota.
Gambar 3. Jaringan: Perkembangan dan Profitabilitas

Sumber: Wahyuni (2003: 206)


Beberapa keuntungan yang diperoleh oleh kedua perusahaan dari hasil aliansi adalah:
1.Bersama-sama mendapatkan keuntungan. Aliansi ini menghasilkan kontribusi yang signifikan bagi posisi keuangan kedua perusahaan penerbangan.
2.Meningkatkan kesadaran para karyawan di kedua perusahaan penerbangan bahwa aliansi dapat memperkuat posisi mereka di pasar. Kedua perusahaan harus bekerja sama dan tidak dapat berjalan sendiri.
3.Melalui kerjasama ini, kedua perusahaan dapat mengatur jaringan North Atlantic secara terus-menerus, yang kemudian membawa manfaat kepada pelanggan dengan menawarkan banyak pilihan tujuan penerbangan.
4.Suatu proses pelajaran yang berharga atas bagaimana cara mengorganisasi dan membangun aliansi tersebut.

Pelajaran yang dapat di petik

Aliansi antara KLM dan Northwest menunjukkan contoh yang menarik mengenai cara perusahaan mengelola secara kritis hubungan kerja sama mereka dan mengatasi masalah-masalah persaingan yang muncul di antara mereka. Dikenal sebagai alliansi stratejik pertama dan penerima anti trust imunity di bidang penerbangan, aliansi antara KLM dan Northwest telah berkembang dari ”code share flight” menuju kerja sama joint venture yang terintegrasi di pasar trans Atlantik.


Fase Formasi


Kedua perusahaan penerbangan mempunyai motivasi yang sama dalam membangun aliansi yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: perluasan jaringan di seluruh dunia, perbaikan dalam pendapatan bisnis, dan mencapai suatu tingkat biaya kompetitif. Di awal hubungan kerja sama, mereka hanya memiliki kemitraan code share di mana kedua perusahaan memiliki 50% kapasitas kursi. Keduanya tetap bersaing satu sama lain, masing-masing memiliki garis dasar dan sasaran keuntungan yang terpisah satu sama lain.


KLM dan Nortwest sangat menyadari sepenuhnya bahwa persaingan ini tidak kondusif terhadap hubungan kerja sama mereka karena kepentingan masing-masing maskapai cenderung untuk berlaku di atas kepentingan bersama, di mana pada akhirnya akan menghambat optimalisasi jaringan mereka. Menganalisis situasi ini, kedua maskapai berkesimpulan bahwa mereka harus masuk dalam open sky agreement dan memperoleh anti-trust immunity untuk merealisasikan impian mereka. Seluruh program dalam fase formasi ini ditujukan untuk meyakinkan pemerintah di kedua negara agar menyetujui kedua syarat dasar tersebut.
Fase Operasi

Di dalam industri penerbangan, aliansi ini dikenal sebagai yang paling terintegrasi dan tahan lama, namun realisasi hubungan kerja sama mereka bukan tanpa masalah. Variabel utama pada fase operasional yang perlu diperhatikan:
Kontribusi Mitra Bisnis Kedua mitra bisnis dalam aliansi ini memutuskan untuk memberikan kontribusi yang seimbang dalam hal kontribusi terhadap kapasitas, pembagian teknologi, keahlian, dan pasar. Di sini tidak terdapat kontribusi yang berupa finansial karena biaya ditanggung masing-masing.
Pengendalian
Walaupun pada awal kerja samanya kedua maskapai sepakat pada pembagian 60%-40%, hal ini tidak mempunyai pengaruh pada perluasan pengendalian dalam aliansi.
Wilayah yang rawan konflik dan hubungan dengan kontribusi Mitra Kerja dan pengendalian Konflik di dalam aliansi dapat berasal dari masalah-masalah stratejik, masalah keuangan sampai aspek-aspek operasional dalam aliansi. Ketidaksetaraan dalam kontribusi mitra bisnis dan pengendalian dapat menyebabkan konflik dalam kerja sama tapi yang paling penting adalah bagaimana perusahaan-perusahaan dapat mengurangi konflik-konflik tersebut.
Peranan Komunikasi dalam Aliansi
Kurangnya komunikasi dapat menimbulkan konflik dalam aliansi, sedangkan komunikasi terbuka dapat menjadi peran yang penting dalam menyelesaikan masalah.
Fase Evaluasi

Kedua perusahaan penerbangan memandang positif terhadap aliansi ini. Aliansi telah berkembang melebihi harapan mereka semula. Mereka telah mencapai tujuan dari aliansi ini, yaitu meningkatkan pendapatan dari pasar Trans-Atlantik dan memperluas jaringan di seluruh dunia. Kedua perusahaan sangat optimis dan memandang positif aliansi ini.

Kedua belah pihak menyadari betapa penting aliansi ini untuk bisnis mereka. Bagi Northwest, aliansi ini memberikan pendapatan 100% di pasar Trans-Atlantik, sedangkan untuk KLM, joint venture ini berarti garis hidup mereka. Singkatnya, kedua perusahaan ini menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen jangka panjang untuk mengembangkan kerjasama ini dengan menggaet lebih banyak partner untuk memperkuat posisi aliansi ini di dunia penerbangan internasional.



Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi ekonomi dan persaingan merupakan faktor eksternal utama pendorong aliansi strategi. Selain faktor-faktor lingkungan eksternal perusahaan, motif dan tujuan perusahaan merupakan faktor pendorong utama aliansi. Motif dan tujuan dibentuknya aliansi stratejik setidaknya meliputi:

(1) Teknologi (know –how);

(2) Aset finansial; (3) Persaingan;

(4) Akses pada segmen pasar;

(5) Akses terhadap input, output, dan pengalaman manajemen;

(6) Sumberdaya dan kapabilitas yang saling melengkapi.

Pengalaman KLM dan Northwest menunjukkan bahwa pemain pertama alliansi di bisnis penerbangan ini memulai kerjasama mereka dengan perjanjian yang sangat sederhana. Semakin tinggi tingkat ketergantungan mereka semakin banyak masalah yang dihadapi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola aliansi adalah bagaimana membagi dan mengkontrol kontribusi masing-masing partner, kemungkinan munculnya persaingan antar partner yang notabene pesaing di bisnis yang sama, penanganan konflik dan pentingnya komunikasi antar partner.

Tidak ada perkawinan yang mulus demikian juga dalam hubungan antar partner dalam 17 alliansi stratejik. Bagaimana menyikapi konflik yang muncul dan menganggap konflik sebagai kesempatan untuk belajar adalah pemikiran positif yang merupakan kunci survive KLM dan Northwest hingga saat ini. (FAD)
Fase Operasional Dalam Aliansi Stratejik KLM dan Northwest Senin, 05 November 2007 07:50 WIB
(Vibiznews - Strategic) - Untuk mengelola dan mengkoordinasi aktivitas aliansi ini, kedua maskapai penerbangan sepakat untuk mendirikan Alliance Steering Committee dan sejumlah tim kerja, yang terdiri dari subbisnis penumpang, keuangan, operasi dan kargo. Steering committe mengadakan pertemuan secara teratur setiap 3 bulan di Amsterdam atau Minneapolis.
Northwest dan KLM memutuskan untuk mengintegrasikan penjualan mereka dan mengimplementasikan pendekatan pemasaran yang disebut “a color-blind approach” pada tahun 1998. KLM menutup kantor pemasaran mereka di U.S.A. dan menyerahkan seluruh aktivas penjualan di Amerika kepada Northwest. Demikian juga halnya dengan Northwest yang menutup sales office mereka di Eropa.

Ada 3 alasan mengapa mereka melakukan hal ini, yaitu:
1.Mereka dapat menghemat biaya dengan mengurangi duplikasi karyawan;
2.Mengurangi masalah persaingan internal antar staf pemasaran;
3.Merupakan bagian integral untuk mengoptimalkan keuntungan dari usaha Patungan.
A color-blind approach ini merupakan strategi yang pertama kali diterapkan di dunia penerbangan dan terbukti sangat ampuh sekali untuk mengurangi persaingan antar kedua belah maskapai.

Kontribusi Mitra Bisnis
Awalnya operasi aliansi ini sepakat atas bagian 60:40. KLM mengoperasikan 60% dan Northwest 40% dari kapasitas. Namun pada tahun 1997 mereka mengubah komposisi tersebut menjadi 50:50. Komposisi yangbaru ini diharapkan membantu perkembangan aliansi dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
Adanya perbedaan kontribusi kapasitas tidak menyebabkan konflik karena mereka secara bersama memutuskan jadual penerbangan. Hampir semua aktivitas yang diperlihatkan dalam perjanjian diatur secara bersama (joint), kecuali pemasaran (marketing) dan periklanan (advertising).

Pengendalian

Walaupun KLM memiliki 19,3% saham Northwest, situasi ini tidak memberikan dampak pada posisi kontrol KLM. Lagi pula saham KLM di Northwest Airlines relatif kecil persentasenya dari total kepemilikan di Northwest. Settlement control aliansi ini dapat dibagi ke dalam 3 aspek, yaitu:
1.Pada umumnya, Alliance Steering Committee mengatur secara keseluruhan pengawasan aliansi ini.
2.Kontrol sedikit berbeda saat dihubungkan dengan pasar.
3.Kedua mitra (partner) memiliki keahlian yang berbeda yang menghasilkan pengendalian divisi yang berbeda dan menciptakan pertukaran keahlian yang berbeda pula di antara kedua perusahaan.
4.Northwest dan KLM membagi kompetensi inti mereka mengenai IT, teknik penjualan, strategi pemasaran, manajemen hubungan pelanggan, dan manajemen aliansi. Dalam pemeliharaan dan ground handling, kedua perusahaan mengatur prosedurnya.
Spill-over of Control
Spill-over of control adalah kemungkinan core competence perusahaan merembes kepada partner kita. Fenomena ini amat sering terjadi antara partner alliansi. Celakanya, setelah menyerap keahlian partner banyak perusahaan yang kemudian menghentikan kerjasama alliansi mereka. Untuk menghindari keahlian perusahaan terserap seluruhnya oleh partner aliansi yang notabene adalah pesaing perusahaan kita, perusahaan perlu melakukan spill over of control (kesepakatan untuk berbagi keahlian seluruhnya, sebagian atau tidak sama sekali).
Mengenai spill-over of control ini, Northwest tidak memiliki masalah karena keterbukaan di bidang servis seperti penerbangan ini merupakan unsur yang vital sehingga tidak ada rahasia diantara mereka. Sedangkan KLM menggarisbawahi bahwa normalnya bentuk hubungan R&D tidak perlu untuk diterapkan dalam aliansi mereka karena aspek berikut:
1.Kedua maskapai memiliki komitmen jangka panjang
2.Mereka memiliki hubungan dalam lingkup besar dengan banyak bidang yang saling berhubungan.
Maka dapat disimpulkan bahwa komitmen jangka panjang dan rekanan dalam lingkup yang luas menjadi kunci mengapa kedua perusahaan ini tidak perlu khawatir dengan spill-over of control.


Konflik

Banyak orang berpandangan negatif terhadap aliansi yang penuh dengan konflik. Logikanya, apabila aliansi selalu dilanda konflik manajer akan sibuk untuk mengatasi problem mereka yang pada akhirnya akan menurunkan efisiensi kerja mereka. Ternyata anggapan ini tidaklah selalu benar. Tercatat memiliki intensitas konflik yang tinggi, KLM dan Northwest menganggap konflik suatu hal yang biasa dalam setiap kerjasama.

Kedua maskapai penerbangan ini menginteprestasikan ketidakcocokan yang mereka alami sebagai konflik positif karena mereka menganggap konflik tersebut menjadi masukan yang akan dicari solusinya secara terus menerus yang pada akhirnya meningkatkan kapabilitas kedua penerbangan tersebut. Penanganan konflik yang bijaksana sangatlah diperlukan. Informasi yang transparan dan komunikasi yang terbuka antar kedua belah pihak adalah kuncinya.

Selain masalah operasional, pemicu konflik biasanya berasal dari :
Orientasi jangka pendek Northwest dan orientasi jangka panjang KLM
Memposisikan aliansi pada pasar kompetitif.
Strategi bagaimana menghadapi aliansi pesaing seperti Lufthansa/United Airlines, Delta/Air France.
Selain masalah dominan tersebut, kedua perusahaan itu menghadapi beberapa situasi sulit yang berpengaruh substansial terhadap hubungan mereka:
Selama periode 1994-1997, ada masalah kontrol KLM, perbedaan kualitas, perbedaan strategi kargo.
Masalah besar kedua terjadi pada September 1998, ketika Northwest terbentur dengan pemogokan satu bulan oleh crew kokpitnya yang menuntut kenaikan gaji.
Waktu sulit yang ketiga terjadi selama penyerangan teroris di AS pada 11 September 2001, yang nyaris menghentikan industri penerbangan.

Komunikasi

KLM dan Northwest telah banyak mengandalkan komunikasi sebagai bagian dari resolusi konflik dan alat untuk mengembangkan kepercayaan antara mereka. Komunikasi membuat mereka dapat saling berbincang, membangun kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian dalam kemitraannya. Namun, kedua perusahaan itu mengakui bahwa ada perbedaan kultural antara dua perusahaan itu, sehingga adaptasi perlu dilakukan dari waktu ke waktu. Komunikasi informal diakui sebagai salah satu aspek yang perlu diperbaiki untuk lebih meningkatkan efisiensi aliansi.(FAD)

Pentingnya Membentuk Aliansi Bisnis
Pernah mendengar istilah “bersekutu tambah mutu” ? itu adalah semboyan Negara tetangga.Ketika saya berniat menulis artikel ini entah kenapa kalimat tersebut seperti mewakili apa yang hendak saya sampaikan. Di artikel sebelumnya saya sudah pernah membahas mengenai pentingnya membangun community. Kali ini saya akan membahas lebih tajam lagi,sekiranya apa saja manfaat membangun sebuah Aliansi bisnis.Dalam bahasa sederhana Aliansi bisnis dapat diartikan sebagai sebuah “perkongsian” yang melibatkan beberapa bidang bisnis dalam satu “business line” yang masih sama, namun spesifikasi produk atau jasa nya berbeda.
Saya juga sempat sedikit melakukan pengamatan terhadap beberapa Aliansi bisnis yang ternyata dapat bertahan hingga sekarang dan ini sangat menguntungkan konsumen sebab “nilai” produk yang mereka terima bisa lebih besar daripada jumlah yang mereka bayarkan. Setidaknya ada beberapa point manfaat yang bisa diperoleh para Pebisnis jika mereka melakukan Aliansi Bisnis dengan beberapa rekan yang punya integritas yang tinggi dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan .
1. Meningkatkan Kualitas Tenaga Pemasaran
Disadari atau tidak,sebenarnya ketika Aliansi bisnis itu sendiri telah memungkinkan bertambahnya tenaga pemasaran.Bisa saja bukan penambahan personil,tetapi penambahan secara kualitatif dari pemasar itu sendiri. Ini terkait erat dengan “besaran nilai” produk yang ditawarkan kepada konsumen.Sehingga Investasi yang tertanam bisa lebih efisien dikelola dan tidak dihamburkan di kegiatan promosi dan hard selling saja.
2. Membuka Pasar lebih Luas
Perhatikan,ketika sebuah bisnis Travel ber-aliansi dengan sebuah maskapai penerbangan,yang memungkinkan konsumennya membeli tiket pesawat sekaligus membeli paket tour dalam satu atap,bukankah ini sekaligus membuka pasar yang lebih luas ? bisa jadi calon konsumen awalnya hanya bermaksud membeli tiket pesawat saja,namun karena penawaran paket tour nya juga menarik maka ia akan membeli keduanya. Ini hanya contoh kecil saja dari kekuatan Aliansi bisnis yang saya maksudkan.
3. Lebih Produktif
Produktifitas sebuah bisnis merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan . Jika dikatakan bahwa konsumen adalah “ next action” maka produktifitas adalah berbanding lurus dengan next action tersebut. Aliansi bisnis memungkinkan beberapa unit bisnis tersebut tumbuh terus dalam kurva produktifitas yang baik sebab hamier selalu saja ada “next action” yang harus dilakukan.
4. Lebih Mudah Menemukan Solusi
“Dua kepala lebih baik dari pada satu “ saya rasa kalimat tersebut juga sangat relevan bila kita kaitkan dalam penjelasan saya kali ini. Strategi yang sudah dirancang sebelumnya dalam perjalanan waktu pasti akan menemukan masalah masalah yang menuntut solusi cepat dan tepat. Bayangkan jika Anda berbisnis sendiri dan menghadapi persoalan sendirian pula,maka bisa jadi penilaian Anda sudah tidak lagi objektif sebab hanya dari satu sudut pandang Anda saja. Tapi Aliansi bisnis memungkinkan partner bisnis Anda untuk turut serata memberi penilaiannya. Sehingga solusi yang dihasilkan bisa jadi lebih baik dan komprehensif memecahkan masalah – masalah bisnis tersebut.
5. Pertukaran Informasi dan Testimoni
Dewasa ini,testimonial dari pembeli sebuah produk bisa menjadi sebuah “Promosi gratis” yang sangat baik efeknya terhadap psikologi calon pembeli lainnya. Aliansi dalam sebuah bisnis juga memungkinkan Pertukaran Informasi pasar,Perilaku konsumen dan mungkin juga informasi penting mengenai “gerak gerik” pesaing yang bisa kita antisipasi secepatnya. Selalu saya simpulkan bahwa di akhir semua “strategi bisnis “ yang ada adalah diharapkan adanya “long term profitable growth “ yang baik dan berkesinambungan. Bukan hanya kemarin dan hari ini,tapi juga pertumbuhan keuntungan di masa depan. Dan Konsumen pun mendapatkan nilai atau manfaat yang setimpal atas cost yang mereka “tukarkan” dengan nilai produk itu sendiri.
Setelah membaca beberapa manfaat di atas,silakan jika ada yang mau ber-aliansi bisnis dengan saya.maka dengan sangat senang hati saya menyambut kesempatan itu.

Pentingnya Membentuk Aliansi Bisnis
Pernah mendengar istilah “bersekutu tambah mutu” ? itu adalah semboyan Negara tetangga.Ketika saya berniat menulis artikel ini entah kenapa kalimat tersebut seperti mewakili apa yang hendak saya sampaikan. Di artikel sebelumnya saya sudah pernah membahas mengenai pentingnya membangun community. Kali ini saya akan membahas lebih tajam lagi,sekiranya apa saja manfaat membangun sebuah Aliansi bisnis.Dalam bahasa sederhana Aliansi bisnis dapat diartikan sebagai sebuah “perkongsian” yang melibatkan beberapa bidang bisnis dalam satu “business line” yang masih sama, namun spesifikasi produk atau jasa nya berbeda.

Saya juga sempat sedikit melakukan pengamatan terhadap beberapa Aliansi bisnis yang ternyata dapat bertahan hingga sekarang dan ini sangat menguntungkan konsumen sebab “nilai” produk yang mereka terima bisa lebih besar daripada jumlah yang mereka bayarkan. Setidaknya ada beberapa point manfaat yang bisa diperoleh para Pebisnis jika mereka melakukan Aliansi Bisnis dengan beberapa rekan yang punya integritas yang tinggi dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan .
1. Meningkatkan Kualitas Tenaga Pemasaran
Disadari atau tidak,sebenarnya ketika Aliansi bisnis itu sendiri telah memungkinkan bertambahnya tenaga pemasaran.Bisa saja bukan penambahan personil,tetapi penambahan secara kualitatif dari pemasar itu sendiri. Ini terkait erat dengan “besaran nilai” produk yang ditawarkan kepada konsumen.Sehingga Investasi yang tertanam bisa lebih efisien dikelola dan tidak dihamburkan di kegiatan promosi dan hard selling saja.
2. Membuka Pasar lebih Luas
Perhatikan,ketika sebuah bisnis Travel ber-aliansi dengan sebuah maskapai penerbangan,yang memungkinkan konsumennya membeli tiket pesawat sekaligus membeli paket tour dalam satu atap,bukankah ini sekaligus membuka pasar yang lebih luas ? bisa jadi calon konsumen awalnya hanya bermaksud membeli tiket pesawat saja,namun karena penawaran paket tour nya juga menarik maka ia akan membeli keduanya. Ini hanya contoh kecil saja dari kekuatan Aliansi bisnis yang saya maksudkan.
3. Lebih Produktif
Produktifitas sebuah bisnis merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan . Jika dikatakan bahwa konsumen adalah “ next action” maka produktifitas adalah berbanding lurus dengan next action tersebut. Aliansi bisnis memungkinkan beberapa unit bisnis tersebut tumbuh terus dalam kurva produktifitas yang baik sebab hamier selalu saja ada “next action” yang harus dilakukan.
4. Lebih Mudah Menemukan Solusi
“Dua kepala lebih baik dari pada satu “ saya rasa kalimat tersebut juga sangat relevan bila kita kaitkan dalam penjelasan saya kali ini. Strategi yang sudah dirancang sebelumnya dalam perjalanan waktu pasti akan menemukan masalah masalah yang menuntut solusi cepat dan tepat. Bayangkan jika Anda berbisnis sendiri dan menghadapi persoalan sendirian pula,maka bisa jadi penilaian Anda sudah tidak lagi objektif sebab hanya dari satu sudut pandang Anda saja. Tapi Aliansi bisnis memungkinkan partner bisnis Anda untuk turut serata memberi penilaiannya. Sehingga solusi yang dihasilkan bisa jadi lebih baik dan komprehensif memecahkan masalah – masalah bisnis tersebut.
5. Pertukaran Informasi dan Testimoni
Dewasa ini,testimonial dari pembeli sebuah produk bisa menjadi sebuah “Promosi gratis” yang sangat baik efeknya terhadap psikologi calon pembeli lainnya. Aliansi dalam sebuah bisnis juga memungkinkan Pertukaran Informasi pasar,Perilaku konsumen dan mungkin juga informasi penting mengenai “gerak gerik” pesaing yang bisa kita antisipasi secepatnya. Selalu saya simpulkan bahwa di akhir semua “strategi bisnis “ yang ada adalah diharapkan adanya “long term profitable growth “ yang baik dan berkesinambungan. Bukan hanya kemarin dan hari ini,tapi juga pertumbuhan keuntungan di masa depan. Dan Konsumen pun mendapatkan nilai atau manfaat yang setimpal atas cost yang mereka “tukarkan” dengan nilai produk itu sendiri.
Setelah membaca beberapa manfaat di atas,silakan jika ada yang mau ber-aliansi bisnis dengan saya.maka dengan sangat senang hati saya menyambut kesempatan itu.

STRATEGI ALIANSI STRATEJIK
10.1 FAKTOR PENDORONG ALIANSI STRATEJIK
Aliansi stratejik (strategic alliance) merupakan fenomena yang sedang naik daun. Setidaknya, sebuah jurnal bisnis terkemuka, Harvard Business Review, edisi Juli-Agustus 1994, memuat beberapa artikel yang secara khusus membahas seni dan praktik aliansi bisnis. Fenomena aliansi ini memang bukan yang baru, yang barangkali baru adalah skala cakupannya, menjamurnya, dan fakta bahwa aliansi menjadi strategi central bagi banyak perusahaan dalam era globalisasi ekonomi. Argumentasinya sederhana.
Salah satu bentuk kerja sama yang dilakukan adalah melalui aliansi stratejik. Kerja sama dalam bentuk aliansi akan membawa banyak manfaat bagi perusahaan. Salah satu kecenderungan yang amat mencolok dalam ekonomi global dewasa ini adalah pertumbuhan dan penyebaran aliansi stratejik dengan berbagai bentuk kolaborasinya, baik antar perusahaan maupun antargrup dalam skala internasional. Untuk bersaing dalam arena global, siapa pun tidak dapat menanggung biaya tetap yang sedemikian besar. Biaya dan risiko untuk mendirikan jaringan distribusi, logistic, manufaktur, penjualan, dan litbang di setiap pasar kunci di seluruh dunia akan menjadi sangat besar bila ditanggung sendiri.
Menurut Kenichi Ohmae (1989), bahwa syarat yang diperlukan dalam aliansi adalah bergesernya focus perhatian dari ROI (Return On Inveestment) menjadi ROS (Return On Sale). Kesimpulan Ohmae ini sejalan dengan pengamatan Sasaki (1993) menganai aktivitas kolaborasi jepang sejak dasawarsa 1950-an yang berubah dari mula-mula memusatkan diri terutama untuk mendapatkan technological know-how dari luar negeri menjadi memfokuskan pada pertumbuhan penjualan pasar di dunia.
Tujuan utama aliansi stratejik adalah memungkinkan suatu perusahaan atau grup untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai dengan usaha sendiri. Dengan lain , suatu aliansi selalu membagi risiko sekaligus keuntungan dengan cara menanggung pengambilan keputusan bersama untuk bidang tertentu. Karena itu, aliansi stratejik tidak sama dengan merger. Dapat juga dimengerti bahwa alas an rasional ditempunya aliansi stratejik adalah memanfaatkan keunggulan suatu perusahaan dan mengompensasi kelemahannya dengan keunggulan yang dimiliki sang mitra bisnis. Asliansi stratejik dapat terjadi dalam bidang litbang, hingga pengolahan, distribusi, atau pemasaran.

Menyimpulkan bahwa adanya 3 aspek fundamental dari aliansi bisnis :
1. Aliansi harus membawa manfaat bagi mitra kerja yang terlibat, namun aliansi tidak hanya sekedar perjanjian.
2. Aliansi berarti kolaborasi (menciptakan nilai baru secara bersama-sama) dan tidak hanya sekedar pertukaran (mendapatkan suatu pengembalian atas apa yang anda berikan).
3. Pelaku aliansi tidak dapat “dikontrol” oleh system yang formal namun memerlukan jaringan keterkaitan interpersonal dan infrastruktur internal yang meningkatkan proses belajar.

10.1.1 Faktor-Faktor Eksternal
Dunning (1995) mengatakan bahwa perubahan lingkungan eksternal ini mencerminkan ketidakmampuan sumber daya internal untuk mencapai keunggulan kompetitif. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai gerakan dan strategi kompetitif suatu perusahaan,. Narula dan Dunning (1998) menjelaskan dimensi perubahan lingkungan eksternal yang mendorong aliansi adalah sebagai berikut :
1. Proses globalisasi menjadi kekuatan utama dibalik pertumbuhan aktivitas nilai tambah lintas batas Negara, yang pada gilirannya meningkatkan saling ketergantungan ekonomi. Perkembangan globalisasi membawa serangkaian reaksi, tetapi melalui apa yang telah disebut “alliance capitalism”.
2. Meningkatkan internasionalisasi dan persaingan menimbulkan kebutuhan untuk bekerja sama secara regional. Di samping itu, karena “keseluruhan bisnis adalah local”.
3. Perkembangan teknologi yang cepat, siklus umur produk yang lebih pendek, dan kenaikan biaya litbang (R&D) telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk mewujudkan riset bersama dan berbagai sumber daya yang langka.
4. Munculnya banyak pesaing baru dalam bisnis tradisional telah memaksa perusahaan yang ada untuk membina hubungan dan memperluas jaringan yang erat.
5. Pergeseran produk menuju kompetensi memaksa perusahaan untuk keluar dan mencari pengetahuan yang saling melengkapi dan kompetensi yang baru.

10.1.2 Faktor-faktor Internal yang Menjadi Motif dan Tujuan Aliansi
Dapat dijelaskan oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan. Rangsangan utama untuk beraliansi adalah kebutuhan untuk bekerja sama untuk mencapai fleksibilitas, kompetensi inti, dan insetif yang berasal dati otonomi, pada waktu yang sama memanfaatkan sumber daya yang saling melengkapi bagi pembelanjaan dan efisiensi.
Motif dan Tujuan dibentuknya aliansi stratejik :
1. Teknologi (know-how)
2. Asset financial
3. Persaingan
4. Akses pada segmen pasar
5. Akses terhadap input, output, dan pengalaman manajemen
6. Sumber daya dan kapabilitas yang saling melengkapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar